Xschoolpedia

Review Film The Creator (2023): Ide Lantang, Kurang Menantang

Gareth Edwards (sutradara Monsters dan Rogue One) kembali ke alam andalannya, fiksi sains, dalam The Creator (2023). Tanpa monster dan takperlu berkelana ke luar angkasa, ia kini membawa umat manusia maju ke setengah abad ke depan kala kecerdasan buatan menjadi entitas baru. Ide-ide cerita yang ditawarkan telah lumrah bagi kita, tetapi ia punya ide visual yang progresif.

Dalam dunia The Creator, kecerdasan buatan, entah itu dalam bentuk robot metalik atau manusia bioteknologi yang disebut “simulant”, diduga menjadi dalang ledakan bom nuklir di Los Angeles yang memakan satu juta nyawa manusia. Pemerintah Amerika Serikat pun memerangi para entitas kecerdasan buatan yang mendiami Asia Baru, negara fiktif yang menerima keberadaan mereka. Untuk memerangi kecerdasan buatan, AS punya pasukan khusus dengan kapal kolosal bernama Nomad.

Dikisahkan, pada tahun 2065, seorang agen rahasia bernama Joshua (John David Washington) diutus untuk menyelusup ke Asia Baru. Ia ditugaskan mencari keberadaan Nirmata yang diduga membuat senjata mutakhir yang bisa mengubah alur perang. Saat Joshua bersama istrinya, Maya (Gemma Chan), di Asia Baru, tiba-tiba pasukan AS menyerangnya dan menjatuhkan bom yang membuyarkan misinya. Dalam kejadian itu pun ia mengira kekasihnya terbunuh. Selang lima tahun, Joshua diminta untuk kembali membantu invasi ke Asia Baru dengan iming-iming bertemu istrinya yang masih hidup.

Kisah Fiksi Sains Lumrah dengan Tampilan Baru

Rasanya, teknologi mutakhir dan penguasa tiran bukanlah narasi yang pertama kalinya kita temui di film Edwards. Ya, dari segi penceritaan dan visualnya sekilas, rasanya akan sulit melepas film ini dari karya sang sineas sebelumnya, Rogue One (2016). Sama seperti Rogue One, tujuan akhir film ini pun untuk melawan senjata pemusnah masal yang ada di langit.

Takberhenti di situ, ada beberapa kisah lumrah yang dipinjam oleh Edwards di film ini. Kisah dimulai dari kekasih yang meninggal pada awal film dan “menghantui” karakter utama sepanjang film. Selanjutnya, tokoh utama yang “mengasuh” sosok anak-anak yang takdisukainya bersimpati. Lalu, agen rahasia yang diminta menyusup ke lingkungan musuh justru malah membantu musuhnya tersebut.

Perangkat kisah yang “lumrah” seperti di atas dirangkai dalam The Creator, lalu dimasukkan dengan tema yang “lumrah” juga, tetapi relevan: mengenai eksistensialisme kecerdasan buatan. Hanya saja, Edwards dan penulis skenario, Chris Weitz, takbanyak berkutat dalam pertentangan idenya tersebut. Mereka hanya membelah dua ide yang pro dan kontra tentang kecerdasan buatan, lalu memerangkannya secara harfiah.

Pembatasan pro dan kontra seperti di atas yang terlalu membelah film sangat disayangkan. Padahal, jika memang benar film ini terinspirasi dari Blade Runner (1982), poin utama tentang keraguan entitas kecerdasan buatan takkuat diusung. Eksekusi The Creator justru membatasi ide liar tersebut dan sangat berfokus kepada aksi semata. Pada akhirnya, resolusinya pun disudutkan hanya menjadi baik dan buruk, lalu seperti biasanya, yang dianggap baik oleh film menjadi pemenang.

Mungkin pergulatan ide ini takdibuat terlalu jelimet agar penonton cukup menikmati aksinya saja. Film ini memang layaknya fiksi sains klasik, menghibur dengan penampilan yang apik dan aksinya yang cukup asik pada setengah bagian akhir. Musik-musik dipadukan dengan baik, pemilihannya menarik, terutama disisipkannya lagu-lagu rok Indonesia pramilenium yang sesuai dengan latar geografis film (walaupun bahasa yang digunakan Thailand). Sayangnya, pada setengah bagian awal, filmnya cukup datar, terutama kegagalan dalam memadukan lagu Everything in Its Right Place-nya Radiohead.

Dari segi visual, ada eksperimen baru dari Edwards yang kembali bekerja sama dengan sinematografer Greig Fraser. Mereka menggunakan kamera “DSLR biasa” alih-alih kamera film megah. Hal ini menghasilkan efek bulir sehingga ada perpaduan nuansa klasik dan kontemporer. Eksperimen ini mungkin akan krusial pada masa depan sebab dapat mempermudah sineas-sineas yang masih merintis untuk membuat film dengan bujet terbatas. Namun, ada sedikit perasaan bahwa kita kehilangan tekstur ketajaman gambar yang kerap hadir di film-film fiksi sains berbujet besar.

Film ini pun membuat kita mempertanyakan kenikmatan dan kepuasan dalam menonton. Apakah menonton visual yang apik dengan kisah yang lumrah memberikan kenikmatan bagi kita? Sebagian besar penonton akan menjawab “iya” dan memang The Creator (2023) dapat memberikan hal itu. Namun, jika kita meniliknya dari kacamata kepuasan dari eksekusi ide film ini, sayangnya, jawabannya “tidak”. Pembahasan tipisnya tentang kecerdasan buatan terasa hanya untuk merelevankan film alih-alih memberikan gagasan yang lantang.

Infografik Review Film The Creator (2023): Ide Lantang, Kurang Menantang oleh ulasinemaInfografik Review Film The Creator (2023): Ide Lantang, Kurang Menantang oleh ulasinema

Baca juga: Blade Runner 2049 (2017) – Sajian Visual Memuaskan Mata

Penulis: Muhammad Reza Fadillah
Penyunting: Anggino Tambunan

Exit mobile version