Dengan tampilan visual hitam-putih, El Conde (2023) tiba dengan sensasi penuh “warna”. Pablo Larraín, sutradara asal Chili, sungguh lihai mengabstraksikan isu sejarah bangsanya–kediktatoran Augusto Pinochet yang pernah bercokol di negara Amerika Selatan tersebut–dalam sajian yang mengesankan.
Dipandu dengan narator, film satir ini mengisahkan Pinochet (masa jabatan 1974–1990)–pemimpin antikomunis yang bertanggung jawab atas ribuan nyawa yang hilang–yang dapat hidup abadi sebab telah menjadi vampir. Dengan seragam jenderal dan jubahnya, ia mampu terbang dengan lekas dan membetot jantung korbannya–untuk langsung disantap selagi berdegup atau menyimpannya di ruang bawah tanah.
Dalam perburuan yang takterhitung tersebut, pria yang mengudeta pemerintahan sosialis Salvador Allende ini mengelompokkan rasa darah korbannya: yang paling lezat adalah orang-orang Inggris yang mewarisi kekaisaran Romawi. Adapun yang terendah ialah darah pekerja Amerika Selatan. Agaknya, pemilihan penokohan vampir yang haus darah tersebut merupakan parodi dan metafora dari kekejaman Pinochet. Upaya sang sutradara dalam mengonkretkan penokohan ini tentu perlu diapresiasi.
Selain itu, dikisahkan, Pinochet yang tidak pernah menyesali kejahatannya digambarkan sebagai orang yang amat “tersengat” akan Revolusi Prancis. Ia amat menentang peristiwa aristokrat yang dipenggal rakyat Prancis kala revolusi tersebut pecah–sampai-sampai ia mengawetkan kepala Marie Antoinette di sebuah toples. Adegan ini menyiratkan posisi politiknya yang berseberangan dengan ide “kiri” dan menebalkan dirinya sebagai diktator.
Rumitan kisah terjadi saat Pinochet yang tua renta dan memerlukan alat bantu jalan memutuskan untuk tidak lagi meneguk darah agar benar-benar mati–setelah beberapa kali memalsukan kematian. Ia berniat mewarisi sisa hartanya–berupa dokumen berharga–kepada istri dan beberapa anaknya.
Untuk memprosesnya, asisten akuntan didatangkan ke kediaman sang diktator–yang mesti ditempuh dengan perahu dan digambarkan terasing. Sesungguhnya, asisten akuntan tersebut merupakan biarawati yang sedang menyamar dan mengemban visi gereja: mencari tahu segala dokumen dan informasi berharga dari keluarga diktator tersebut. Sang Jenderal tertarik pada gadis muda tersebut; sang biarawati tidak menolaknya. Doa-doa sang biarawati takmempan menghalau “keiblisan” sang jenderal. Agaknya, ini merupakan metafora dari “kemesraan” sang diktator dengan pihak gereja kala itu.
Memeriksa Masa Lalu
Kondisi terkini politik Chili kembali dikuasai oleh politik kiri. Pada 2021 lalu, politikus muda, Gabriel Boric, mengalahkan salah satu lawannya, José Antonio Kast–yang dianggap meneladani Pinochet. Mungkin, situasi ini membuat Larraín melihat peluang untuk menampilkan El Conde. Film ini pun muncul sebagai pemaknaan ulang sejarah Chili. Dengan berani, Larraín coba mengajak penonton menertawakan motivasi absurd sang diktator, Pinochet, dan tingkah konyol dari pemimpin yang kejam tersebut.
Selain itu, ia juga mampu dengan jitu menggambarkan kondisi stabilitas ekonomi dengan pelanggaran hak asasi manusia di Chili saat itu. Berdasarkan pendapat Milton Friedman, performa ekonomi Chile saat Pinochet mengalami “kejaiban”—yang juga dikaitkan dengan adanya dukungan Amerika. Hal ini kemudian ditentang Amartya Sen, ekonom lainnya, sebab ada indikator sosial yang tidak diperhatikan saat periode kepemimpinan Pinochet tersebut—adanya penghilangan dan pembantaian massal.
Sementara itu, film yang memenangkan penghargaan naskah terbaik Festival Film Venesia 2023 ini mampu menyingkap fenomena sejarah yang terjadi di berbagai belahan dunia—termasuk sejarah kediktatoran di Indonesia. Dengan simbol yang kuat, yaitu vampir yang dapat menular, Larraín dapat menganalogikan fakta-fakta sejarah ke dalam adegan yang menghibur. Dibandingkan dengan karya serupa, misalnya Bananas (1971) karya Woody Allen yang memarodikan diktator di Kuba dan karya The Dictator (2012) yang mengangkat pemimpin semena-mena di negara fiksi di Afrika Utara, film ini lebih kuat dari segi histori.
Walhasil, El Conde memberi warna berbeda padabanyaknya film yang rilis tahun ini. Larraín, yang telah menyutradarai Spencer (2021) yang berkisah tentang putri Diana, istri Pangeran Charles, dan Jackie (2016) yang berkisah tentang istri John F. Kennedy pun mampu keluar dari film sejarah yang masih setia pada sejarah. Dengan El Conde, ia berhasil mewujudkan dan merekontruksi sejarah bangsanya yang pernah berdarah-darah dengan metafora seorang vampir yang bisa bangkit suatu waktu dan menularkan “virus” di tempat dan waktu yang lain.
Baca juga: Oppenheimer (2023) – Ledakan Bom Nolan
Penulis: Anggino Tambunan
Penyunting: Muhammad Reza Fadillah