Belum genap dua tahun usai hiruk-pikuk Penyalin Cahaya (2021), yang dengan segala puja-puji kualitas dan kontroversi di balik penulis skenarionya, Wregas Bhanuteja kembali hadir dengan karyanya. Dalam karya anyarnya, Budi Pekerti (2023), Bhanuteja serasa ingin menyingkirkan segala kontroversi karya sebelumnya. Film ini pun membuka tabir baru dari kualitas sinema modern Indonesia.
Debut sinema panjang Bhanuteja penuh asam-manis. Penyalin Cahaya dengan segala kualitas luar biasanya, harus diterpa latar belakang ironi, kala penulis skenario yang jadi rekan sang sineas, dilanda kasus kekerasan seksual. Filmnya pun diserang kultur tolak walau sebelumnya melibas sebelas Piala Citra di Festival Film Indonesia. Gaung Bhanuteja dari karya-karya film pendeknya yang solid pun diredam.
Belum genap dua tahun usai karya perdananya, sang sutradara bangkit kembali. Budi Pekerti seakan menjadi kebangkitan Bhanuteja bagi publik yang sebelumnya mendiskreditkan namanya. Dalam film ini, muncul nama-nama pemeran besar di Indonesia, dari yang veteran seperti Sha Ine Febriyanti dan Dwi Sasono, serta yang muda seperti Prilly Latuconsina dan Angga Yunanda.
Eskalasi Hiperbola yang Jernih
Prani (Febriyanti) ialah seorang guru bimbingan penyuluhan yang keluarganya terlilit masalah ekonomi. Terlebih lagi, suaminya, Didit (Sasono) depresi sehingga hidupnya makin ruwet. Suatu saat, ia yang sendang mengantre membeli kue putu untuk menyenangkan suaminya, justru berujung petaka. Ia melihat seseorang mendahului antreannya sehingga ia menegurnya. Amarah pun tetiba pecah dan kemarahan Prani direkam dan di-viral-kan di media sosial.
Dalam Budi Pekerti,Bhanuteja memaknai kata viral layaknya asal katanya: virus. Satu kejadian menyebar cepat di dunia daring bagaikan virus yang menjangkit. Dalam konteks ini, cuplikan amarah Prani dan komentar negatifnya menyebar bagai endemi, menjangkit opini miring masyarakat. Masa lalu Prani pun terus digali, walau hal baik hadir, hal buruk menyingkirkannya dan terus membombardir pribadi serta keluarganya.
Eskalasi film Bhanuteja memang takpandang bulu, besar, dan bergerak cepat layaknya komet yang siap menghancurkan apa pun yang ada di depannya. Kadang terasa dilebih-lebihkan, tetapi ia berhasil memantek penonton dengan asupan memikat. Layaknya Penyalin Cahaya, Bhanuteja melihat permasalahan populer masa kini menjadi pemantik filmnya: di situ ia bicara tentang kekerasan seksual, kini di Budi Pekerti tentang perundungan daring.
Pemantik-pemantik ini pun serasa hanya menjadi tabir dari kekuatan-kekuatan penulisan Bhanuteja. Protagonis-protagonis filmnya ini selalu hadir dari entitas yang memiliki kekuatan kecil. Suryani (Shenina Cinnamon) di Penyalin Cahaya hanya mahasiswa yang kesulitan melanjutkan kuliah karena orang tuanya minim kekuatan ekonomi. Kini, Prani di Budi Pekerti ialah guru yang menunggak biaya kontrakan dan masalahnya mengancam kariernya. Keduanya juga punya lawan besar: anak pemilik kampus serta media daring yang punya banyak pengikut.
Walaupun kedua film ini punya kerangka serupa, nilai yang dibawa dan nuansa film ini berbeda. Penyalin Cahaya punya nuansa keruh, terus tegang, super-fokus, dan serius. Sementara itu, ada masa-masa dalam Budi Pekerti yang terasa seperti relaksasi dan beberapa kali diselipkan komedi. Prani walaupun sangat tegas dan gigih, ia paham betul mengenai ketenangan dan ketentraman sesama, takseperti Suryani yang lebih egois, ceroboh, dan gegabah.
Warna-warna yang diambil Bhanuteja dalam film ini pun lebih cerah dan jernih. Optimisme terkadang kabur, tetapi tokoh utama memegang nilai moral yang solid sehingga dalam pertarungan hingga resolusinya, penonton bisa mengambil sari-sari positif. Kekuatan ini pun deras tersalurkan berkat peranan Sha Ine Febriyanti yang hampir tanpa celah. Tindakan baiknya mungkin terlalu naif, tetapi amarahnya pada awal cerita di tengah ruwetan keluarganya menjadikannya manusia.
Hebatnya Febriyanti di sini menegaskan lagi kemampuan Bhanuteja dalam mendireksi para pemerannya: kemampuan hebatnya takhanya dalam mengarahkan aktor muda seperti di Penyalin Cahaya, tetapi ia lihai juga dalam mengarahkan aktor paruh baya. Selain Febriyanti, Yunanda dan Latuconsina pun dapat memamerkan kembali kemampuan aktingnya dalam film yang lebih serius; sebelumnya kedua nama ini lebih terkenal di ranah sinema populer. Begitu juga dengan Omara Esteghlal sebagai Gora, karakter dengan latar belakang mental yang kompleks dengan kebiasaan unik, yang diperankan dengan brilian.
Moral-Moril
Dari protagonis yang memiliki kekuatan kecil di lingkup sosial yang besar, Bhanuteja selalu kembali menciutkan karakternya kala dihadapi dengan entitas yang lebih kuat dan besar. Namun, karakter-karakter ini selalu memiliki tekad besar untuk menghadapi masalah-masalah yang terkadang terasa dibesar-besarkan dalam film-film sang sineas. Bagaimanapun, perlukah kita membahas hiperbola-hiperbola yang digunakan dalam film ini kala sinema sudah takasing menggunakannya demi mengeskalasi konflik-konfliknya?
Jika kita masih memakai kacamata bahwa film-film ini memakai hiperbola yang berlebihan, berarti kita masih sama saja dengan antagonis yang mendiskreditkan protagonis dalam film-film Bhanuteja. Di sinilah menariknya film Bhanuteja, kita takhanya diajak untuk menonton, tetapi juga menghakimi karakter-karakternya. Benar atau salah? Baik atau buruk? Berlebihan atau tidak? Karakter-karakter Bhanuteja hidup memiliki prespektifnya masing-masing, begitu juga dengan penonton. Pertentangan ini membuat kita kembali teringat akan kemahiran Asghar Farhadi dalam membuat persepsi yang terkadang menipu dalam film-filmnya sebelum dibenturkan oleh fakta lain. Moralitas pun menjadi nilai subjektif: apakah kita sepaham dengan protagonis ataukah kita ada di sisi antagonis?
Dengan sedemikian rupa kekuatan dan kompleksitasnya, Budi Pekerti memang layak mendapatkan sanjungan sebesar-besarnya. Takpernah saya menyaksikan film Indonesia dengan sanksi dan sangsi seperti ini. Kita sedang melihat kelahiran sineas besar di Indonesia, seorang auteur yang kualitas filmnya takciut dengan nama-nama besar di dunia.
Baca juga: Petualangan Sherina 2 (2023) – Degup Nostalgia Seirama
Penulis: Muhammad Reza Fadillah
Penyunting: Anggino Tambunan