Menu

Mode Gelap

Movie · 25 Nov 2023 17:26 WIB ·

Amadeus (1984): Ambivalensi Manusia dalam Pencarian Hakikat


 Amadeus (1984): Ambivalensi Manusia dalam Pencarian Hakikat Perbesar

Amadeus (1984): Ambivalensi dalam Pencarian Hakikat

Perjalanan manusia mencari hakikat takjarang berisi mosaik-mosaik kisah yang sulit diuraikan kata-kata dan logika. Kehidupan sosial manusia, misalnya, penuh nilai ambivalen kompleks yang taklazim di mata norma. Ambivalen manusia ini disuguhkan Milos Forman lewat kisah rivalitas dua komposer brilian, Antonio Salieri dan Wolfgang Amadeus Mozart, dalam film Amadeus (1984).

Amadeus
dibuka lewat adegan Salieri tua dilarikan ke rumah sakit jiwa setelah ia gagal bunuh diri. Setibanya di sana, Salieri diminta pendeta muda untuk memulai pengakuan dosa sebelum kehabisan waktu. Dari sinilah masa lampau Salieri dan Mozart mulai tersingkap dan mengalir ke penonton.

Obsesi Mencari Makna Diri

Diceritakan Salieri (F. Murray Abraham) memaknai musik sebagai karunia indah takternilai dari Tuhan. Musik baginya lekat dengan sisi religius, berisi keagungan Tuhan yang mampu menggugah gairah hidup manusia. Pandangan ini lalu mendorong Salieri tekun berlatih musik walau takmendapat dukungan siapa pun sejak kecil.

Obsesi Salieri terhadap musik terus memuncak dan mengantarkannya jadi komposer kerajaan di kota Vienna, Austria. Namun, hasrat berkaryanya takpernah padam. Sebab bagi Salieri, segala pencapaian karyanya masih belum menyiratkan keagungan seperti musik gubahan Mozart yang ia sanjung.

Mozart (Tom Hulce), rival Salieri, juga dikisahkan punya antusiasme besar terhadap musik. Talentanya terasah sejak kecil lewat tempaan keras sang ayah. Ia takragu mendobrak kaidah-kaidah musik demi mewujudkan visi besarnya. Musik menjelma jadi kanvas “pembebasan” Mozart, martabat, dan refleksi kisah hidupnya.

Dalam film ini, Salieri dan Mozart mengartikan musik sebagai panggilan untuk menyempurnakan diri. Harmoni yang lahir dari tiap-tiap notasi musik takhanya menjadi katarsis, tetapi juga simbol martabat mereka. Musik ialah hakikat hidup mereka, monumen eksistensialisme yang takdapat dibeli siapa pun.

Besarnya pemaknaan Salieri terhadap musik tergambar dalam ikrarnya untuk menjaga kesucian diri. Baginya, urusan wanita takmampu menyamai hasratnya terhadap musik. Semua itu Salieri relakan dengan harapan mampu menemukan keabadian dalam karya-karya musiknya.

Sementara untuk Mozart, musik laksana cerminan beragam fase kehidupannya. Inspirasi karyanya kerap berasal dari pengalaman personal, seperti saat rumahnya kedatangan tamu takdikenal hingga kematian orang terdekat. Musik seolah-olah menjadi kanvas ternyaman untuk merefleksikan perasaan terdalamnya tanpa takut dihakimi siapa pun.

Hipokrisi Pemuja Keagungan Tuhan

Awal adegan kilas balik film ini menampilkan sisi religius Salieri yang begitu kuat. Ia diperlihatkan memuja keagungan Tuhan yang tergambar dalam musik sejak kecil. Lewat musik, hatinya terpaut akan keindahan karya-karya Mozart hingga mantap memilih komposer sebagai jalan hidupnya.

Namun, seiring berjalannya film, sisi religi dalam diri Salieri lambat laun terkikis. Hatinya perlahan dikuasai rasa cemburu dan amarah. Salieri takterima Tuhan meniupkan bakat ajaib kepada Mozart yang ia anggap sebagai manusia amoral. Ia merasa “dicemooh”.

Pada fase inilah Salieri tampak sebagai sosok hipokrit. Ia mengagumi kebesaran Tuhan lewat musik, namun juga mengutuk manifestasi kebesaran itu lantaran takberhasil memilikinya. Sikap ambivalen ini tentu menambah kompleksitas karakter Salieri hingga film berakhir.

Sisi hipokrit Salieri terungkap saat superioritas moralnya kian meninggi. Setelah menjumpai Mozart, Salieri diperlihatkan terus menghakimi Tuhan. Seolah-olah ketaatannya beribadah di awal film hanya transaksional demi mengejar nafsunya semata: abadi dalam musik dan dikagumi dunia.

Egosentrisme Jadi Senjata Makan Tuan

Nilai-nilai ambivalen juga terasa dalam penokohan Mozart di dalam film Amadeus (1984). Satu sisi ia ditampilkan sebagai sosok narsistik-perfeksionis-jenius yang menomorsatukan harga dirinya dan musik. Namun di sisi lain, ego Mozart begitu rapuh hingga dirinya mati-matian mencari “kompensasi” atas hal itu sepanjang waktu.

Mozart selalu ingin diakui di sepanjang hidupnya. Ia mungkin sukses menyuguhkan pertunjukkan opera berkelas, memoles talenta kolaboratornya secara brilian, atau meramu melodi indah yang membius telinga. Namun, semua pencapaian itu takberarti hingga Mozart mendengar sanjungan hormat.

Pujian membesarkan ego Mozart hingga ia menyangkal segala kritik terhadap musiknya. Hal ini tergambar dalam kekesalan Mozart kepada sikap Kaisar Joseph yang hanya memberikannya jatah sembilan pertunjukkan usai menonton operanya. Bahkan, ia rela sulit secara finansial lantaran takterima musiknya harus mengikuti seleksi dari kerajaan.

Mozart sendiri menyembunyikan masalah finansial ini dari ayahnya. Ia seolah-olah takmau terlihat memalukan dan menyedihkan, sekali pun di hadapan orang tuanya. Mau takmau istri dan anaknya kerap jadi pihak yang menanggung konsekuensi keputusan Mozart.

Semua ini melukiskan kerapuhan harga diri Mozart yang teramat besar. Sikap hipersensitif Mozart terhadap kritik, rasa percaya dirinya yang meletup-letup, dan obsesi taksehat untuk dihormati perlahan menjerumuskannya. Kerapuhan ego inilah yang membuatnya jatuh ke dalam taktik manipulatif Salieri.

Mozart mungkin terbiasa memandang dirinya hebat, agung, dan pusat dari segalanya. Namun, taksekali pun ia sadar dirinya rentan terhadap pandangan publik. Begitu sanjungan-sanjungan itu sirna, Mozart seketika teralienasi dan kehilangan lentera hidupnya.

Representasi Kubu Konservatif dan Progresif

Karakter dua komposer dalam film Amadeus (1984) juga tampak merefleksikan dua kelompok yang kerap bersinggungan. Salieri merepresentasikan kaum konservatif yang setia mematuhi segala norma lama, sedangkan Mozart mewakili kaum muda progresif yang takragu merevolusi dunia lewat ide-ide besar.

Dalam kesehariannya sebagai komposer kerajaan, Salieri terlihat begitu menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan agama. Kondisi ini disebabkan ia menyadari pilihan tindakannya berisi konsekuensi-konsekuensi panjang. Salieri pun memilih setia menaati aturan yang sudah ditetapkan Tuhan maupun dewan-dewan kerajaan.

Pandangan Salieri ini mirip dengan sikap kaum konservatif yang begitu saklek terhadap norma serta cenderung memilih cara teraman dalam berproses. Seiring waktu berjalan, Salieri memang perlahan meninggalkan sisi religius dalam dirinya. Namun, sikap berpolitiknya di kalangan kerajaan tetap mengakar pada tradisi yang ada.

Lain dengan Salieri, aksi-aksi Mozart merefleksikan semangat kaum muda progresif yang berani menyuarakan perubahan. Diperlihatkan ia takragu mendobrak kaidah musik hingga norma kerajaan yang mampu membahayakan reputasinya sendiri. Mozart seolah-olah menolak dibelenggu tradisi yang bisa membungkam kreativitasnya.

Di dalam film, juga dikisahkan karya opera Mozart sempat menuai pertentangan lantaran diangkat dari drama “The Marriage of Figarro” yang masuk dalam daftar larangan kerajaan. Ia lalu meyakinkan pihak kerajaan bahwa karyanya takbermuatan politik provokatif serta menyuguhkan ide segar yang relevan. Langkah Mozart ini merepresentasikan semangat kaum muda untuk takragu menyambut perubahan.

Secara keseluruhan, Amadeus (1984) menyajikan tontonan apik berisi kompleksitas manusia dalam mencari hakikat. Sikap-sikap ambivalen pada manusia menggambarkan adanya sisi kehidupan yang takjarang sulit ditakar logika. Kisah rivalitas Mozart dan Salieri tentu bisa menjadi bahan refleksi dalam memaknai relasi kompleks antarsesama manusia.

Infografik Amadeus (1984): Ambivalensi dalam Pencarian Hakikat

Baca juga: Komika dalam Sinema – Citra dan Penokohan

Penulis: Farhan Iskandarsyah
Penyunting: Anggino Tambunan

Artikel ini telah dibaca 11 kali

badge-check

Kontributor

Baca Lainnya

Marni: Kisah Wewe Gombel – Horor Menegangkan 27 juni 2024

24 June 2024 - 14:16 WIB

Marni: Kisah Wewe Gombel

Austin Butler dan Timnya Menggempur Pasukan Nazi di Trailer Terbaru Masters of the Air

7 December 2023 - 14:53 WIB

Thanksgiving – montasefilm

22 November 2023 - 17:16 WIB

Aksi Teroris Mengancam Ibukota di Video Teaser “13 Bom di Jakarta”, Tunjukkan Potensi Jadi Film Action Indonesia Terbesar Tahun Ini

19 November 2023 - 17:08 WIB

Past Lives (2023): Daya Pukau Masa Lampau

16 November 2023 - 16:55 WIB

The Killer – montasefilm

13 November 2023 - 16:53 WIB

Trending di Movie