Menu

Mode Gelap

Movie · 20 Oct 2023 15:58 WIB ·

Review Film Killers of the Flower Moon (2023): Keajaiban Scorsese


 Review Film Killers of the Flower Moon (2023): Keajaiban Scorsese Perbesar

Lily Gladstone dan Leonardo DiCaprio di film Killers of the Flower Moon (2023)

Pada usia 80 tahun, Martin Scorsese takmenunjukkan tanda-tanda penurunan. Faktanya, dalam film terbarunya, Killers of the Flower Moon, ia layaknya sineas yang sedang dalam masa primanya. Dalam film ini, tekad berkisahnya masih terlihat menggebu-gebu dan dikemas dengan sangat rapi dan indah–buah karya dahsyat seorang master.

Amerika Serikat tumbuh dari tanah penuh darah. Tanahnya “disuburkan” oleh darah para budak dari Afrika. Kisah tentang pertumpahan darah para bangsa Afrika yang “diimpor” AS ini jadi bahan yang kerap dijahit oleh para sineas, terutama dalam beberapa tahun terakhir. Namun, ada darah lainnya lagi yang tumpah menjadi minyak. Darah ini ialah darah para pribumi yang tanahnya direnggut dan kekayaannya dirampas.

Pembahasan kejahatan AS terhadap pribumi takacap hadir di sinema sebab para penutur cerita yang kerap menjadi suar kini hampir musnah. David Grann dalam bukunya, Killers of the Flower Moon: An American Crime and the Birth of FBI (2014), menggali kembali darah para “Indian” yang telah dinodai oleh minyak. Scorsese pun menyalakan suar itu kembali, menghidupkan kembali tubuh-tubuh yang dikubur dengan taksenonoh oleh para pendatang, yang kini jadi warga AS.

Killers of the Flower Moon memuat kisah tentang pembunuhan berantai suku Osage. Tanah suku Osage di Oklahoma kaya akan minyak sehingga mereka menjadi penduduk dengan pendapatan per kapita tertinggi di dunia saat itu. Pada tahun 1920-an, satu per satu dari mereka mati dibunuh tanpa ada penyelidikan lebih lanjut oleh polisi setempat. Lalu, perlahan kita diperkenalkan siapa dalang dan para keroconya.

Scorsese dan Eric Roth takmenulis film ini sebagai film sejarah yang progresinya sesuai dengan alur waktu. Dengan seabrek benang fakta, ia merajutnya dengan kisah cekaman yang intens dan indah secara bersamaan. Fakta-fakta dari buku Grann pun dipilin dengan sangat rapi, tenang, dan dengan detail menarik. Lahirlah waktu film yang membengkak, hingga 3 jam 26 menit.

Selama 3 jam 26 menit tersebut, kita takbenar-benar diberi waktu untuk bertanya, “apakah film ini perlu untuk sepanjang itu?” dan “bagian mana yang bisa dipotong?”. Scorsese terus membombardir kita dengan pentas atraktif, hidangan lezat yang rasanya ingin kita nikmati selamanya, hingga melahapnya pun lebih sedap perlahan-lahan.

Dua Trinitas Suci

Melihat cara Scorsese menceritakan film ini, kita melihat ada dua trinitas suci yang hadir. Trinitas pertama ialah karakter-karakter utamanya: Ernest Burkhart (Leonardo DiCaprio), Mollie Burkhart (Lily Gladstone), dan William King Hale (Robert De Niro). Ketiganya menjelma layaknya judul film barat klasik Sergio Leone, The Good, the Bad, and the Ugly (1966).

Berbeda dari film Leone yang karakter utamanya “Si Baik”, kini protagonis kita “Si Buruk”, Burkhart. Dalam memerankan karakter yang punya sisi kelam di balik paras baiknya, rasanya tiada nama yang lebih sempurna bagi Scorsese ketimbang DiCaprio. Sang aktor sebelumnya pun telah beberapa kali memerankan karakter kompleks sepert ini bersama Scorsese , mulai dari Howard Hughes di The Aviator (2004), Teddy Daniels di Shutter Island (2010), dan Jordan Belfort di The Wolf of Wall Street (2013). Namun, ini rasanya jadi pertama kalinya DiCaprio didapuk menjadi karakter yang takcerdas.

DiCaprio adalah DiCaprio: salah satu aktor terbaik pada masa kini dan di tangan seorang dalang sebrilian Scorsese menjelma menjadi aktor terbaik. Ledakan-ledakannya takbanyak keluar seperti di Wall Street atau Aviator. Namun, caranya mengendalikan bara dengan tetap berapi-api seperti di Shutter Island, rasanya takada yang bisa mengemudikan visi Scorsese untuk Flower Moon lebih baik ketimbang dirinya. Persaingannya dengan Cillian Murphy (Oppenheimer) untuk jadi aktor terbaik tahun ini akan sangat menarik.

Lalu, kita berpaling ke Gladstone. Hampir banting stir karena pandemi COVID, Scorsese menyelamatkannya dan ia menjelma Lazarus yang kebangkitannya layaknya mukjizat. Takbisa dimungkiri, sosok Mollie, “Si Baik”, yang diperankan Gladstone memang kunci dari film ini. Film ini takmenjadikannya santa sebab kenaifannya untuk mencintai lelaki kulit putih menjadi petaka bagi dirinya. Ia pun takmati tragis layaknya santa, Mollie bangkit dari kematiannya, layaknya Lazarus. Kehadirannya menjadi duri para pelaku kriminal dalam film ini.

Selanjutnya adalah “Si Bengis” Hale yang diperankan De Niro. Peran dalang kriminal dalam film Scorsese rasanya takkan jauh-jauh dari aktor veteran yang berkali-kali bekerja bersamanya. Layaknya DiCaprio adalah DiCaprio, De Niro adalah De Niro: peranan yang ia ambil akhir-akhir ini memang beberapa kali terlihat konyol, tetapi di bawah Scorsese, ia memang aktor legendaris. Kekejaman dan kepicikan yang ia tampilkan seperti di Goodfellas (1990) atau The Irishman (2019) lahir lagi di sini dan takterlihat sedikit pun penurunan kelas darinya seperti berdekade-dekade silam.

Saat De Niro yang telah lebih dari lima dekade berkarya takterlihat kelasnya menurun dalam film ini, Scorsese justru lebih ajaib. Lima dekade sejak ia menciptakan Mean Streets (1973) dan Taxi Driver (1976), sang sineas seperti kembali berada di kondisi primanya. Dalam Flower Moon ini, kita bisa melihat kepiawaiannya dalam merangkai struktur tiga babak, inilah trinitas suci kedua.

Babak pertama disusunnya dengan romantis, dibangunnya kisah cinta Ernest dan Mollie dengan menanam kekejian Hale yang memplot perampasan kekayaan dan masa depan para pribumi Amerika. Masuk ke babak kedua kala perencanaan dan eksekusi pembunuhan mulai divisualisasi. Detail Scorsese dalam menceritakannya benar-benar menyeramkan. Film ini terasa sangat kejam, walau ketegangannya takmenggebu-gebu. Namun, di satu sisi sangat atraktif sehingga mata kita ogah berpaling dari layar.

Babak ketiga tentang penghakiman sedikit menurun intensitasnya. Namun, di sinilah bagian penting bagi penonton untuk menghakimi karakter-karakternya. Ditampilkan adegan yang membuat kita sedikit berempati kepada Ernest. Bagaimanapun, kita diingatkan kembali terhadap betapa hinanya ia yang mencoba membunuh Mollie perlahan. Ada sangsi yang timbul dan ini menampilkan betapa kompleks dan detailnya Scorsese dalam memanfaatkan tiga setengah jam tersebut.

Inilah bentuk fermentasi terbaik dari karier seorang sineas yang lebih dari setengah abad. Martin Scorsese ialah kejaiban dunia sinema dan Killers of the Flower Moon ialah satu dari sekian banyak mahakaryanya. Bahkan dari segala kehebatan aspek di atas, kita masih disuguhkan oleh tampilan memesona dan pengadeganan yang sempurna.

Infografik Review Film Killers of the Flower Moon (2023): Keajaiban Scorsese oleh ulasinema

Baca juga: Oppenheimer (2023) – Ledakan Bom Nolan

Penulis: Muhammad Reza Fadillah
Penyunting: Anggino Tambunan

Artikel ini telah dibaca 6 kali

badge-check

Kontributor

Baca Lainnya

Marni: Kisah Wewe Gombel – Horor Menegangkan 27 juni 2024

24 June 2024 - 14:16 WIB

Marni: Kisah Wewe Gombel

Austin Butler dan Timnya Menggempur Pasukan Nazi di Trailer Terbaru Masters of the Air

7 December 2023 - 14:53 WIB

Amadeus (1984): Ambivalensi Manusia dalam Pencarian Hakikat

25 November 2023 - 17:26 WIB

Thanksgiving – montasefilm

22 November 2023 - 17:16 WIB

Aksi Teroris Mengancam Ibukota di Video Teaser “13 Bom di Jakarta”, Tunjukkan Potensi Jadi Film Action Indonesia Terbesar Tahun Ini

19 November 2023 - 17:08 WIB

Past Lives (2023): Daya Pukau Masa Lampau

16 November 2023 - 16:55 WIB

Trending di Movie